I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Seiring dengan bertambahnya populasi manusia dari waktu ke waktu, kebutuhannya akan ikan untuk pemenuhan protein hewani juga meningkat. Namun apabila kita bergantung pada sektor perikanan tangkap, lama-kelamaan spesies ikan yang ada akan semakin berkurang. Bila suplai protein bertumpu pada sektor perternakan maka tidak akan mampu untuk menutupi kebutuhan protein, maka langkah yang dilakukan untuk mencegah hal tersebut adalah melakukan kegiatan budi daya, karena kebutuhan manusia akan protein hewani tetap terpenuhi dengan haraga yang relative terjangkau bagi penduduk Indonesia.
Ikan lele (Clarias batrachus) merupakan salah satu dari berbagai jenis ikan yang dijadikan pilihan sebagai komoditas budi daya ekonomis. Hal ini didasari beberpa alasan, yaitu ikan lele mudah tumbuh dalam sistem budi daya intensif, memiliki kemampuan yang efisien dalam membentuk protein kualitas tinggi dari bahan organik, limbah domestik, dan pertanian, memiliki resistensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit, memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan, serta memiliki kemampuan tumbuh yang baik.
Permintaan lele di negara kita semakin meningkat sejalan dengan populernya ikan lele sebagai hidangan yang sangat lezat. Kawasan Jabodetabek yang membutuhkan pasokan lele sebesar 75-100 ton per hari. Selain itu, permintaan lele untuk pasar ekspor juga terbuka lebar untuk masyarakat Amerika dan Eropa dalam bentuk fillet seharga US$ 2,6 per kg fillet. Permintaan pasar ini masih belum bisa dipenuhi, oleh karena itu produksi lele secara nasional ditingkatkan dari 162.000 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 250.000 ton pada tahun 2009 (Ismanto, 2009).
1.2 Tujuan
Tujuan pembesaran ikan lele adalah agar mahasiswa dapat melakukan persiapan kolam untuk kegiatan budi daya ikan di kolam air tenang, penebaran benih sesuai dengan prinsip penebaran, pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan ikan, pemanenan dan transprotrasi ikan hidup.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo
Menurut Sanin (1984) dan Simanjuntak (1989) dalam Rustidja (1997) klasifikasi ikan lele dumbo adalah sebagai brikut:
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Ostariophysoidei
Sub Ordo : Siluroidea
Family : Claridae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus

Gambar 1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Tantra (ristantra.wordpress.com)
Bentuk luar ikan lele dumbo yaitu memanjang, bentuk kepala pipih dan tidak bersisik. Mempunyai 4 pasang sungut yang memenjang yang terletak di sekitar kepala sebagai alat peraba ikan. Mempunyai alat olfaktory yang terletak berdekatan dengan sungut hidung . Penglihatannya kurang berfungsi dengan baik. Ikan lele dumbo mempuyai 5 sirip yaitu sirip ekor, sirip punggung, sirip dada, sirip perut dan sirip dubur. Pada sirip dada jari-jarinya mengeras yang berfungsi sebagai patil, tetapi pada lele dumbo lemah dan tidak beracun. Insang berukuran kecil, sehingga kesulitan jika bernafas. Selain bernafas dengan insang juga mempunyai alat pernafasan tambahan (arborencent organ) yang terletak pada insang bagian atas (Najiyati, 1992).
Sebagaimana halnya ikan dari jenis lele, lele dumbo memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir, dan tidak bersisik. Jika terkena sinar matahari, warna tubuhnya akan menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Mulut lele dumbo relatif lebar, yaitu sekitar ¼ dari panjang total tubuhnya. Tanda spesifik lainnya dari lele dumbo adalah adanya sungut di sekitar mulut sebanyak 4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba saat bargerak atau mencari makan (Khairuman, 2005).
Lele memiliki patil tidak tajam dan giginya tumpul. Kulit dadanya terletak bercak-bercak kelabu seperti jamur pada kulit manusia (baca:panu). Kepala dan punggungnya gelap kehitam-hitaman atau kecoklat-coklatan. Lele dumbo memiliki sifat tenang dan tidak mudah berontak saat disentuh atau dipegang. Lele dumbo suka meloncat bila tidak merasa aman (Puspowardoyo, 2003)
Alat pernapaasan tambahan pada lele terletak di bagian kepala. Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh kapiler-kapiler darah. Mulutnya terdapat di bagian ujung moncong dan dihiasi oleh empat pasang sungut, yaitu 1 pasang sungut hidung, 1 pasang sungut maksilan (berfungsi sebagai tentakel), dan dua pasang sungut mandibula. Insangnya berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang (Nijayati, 1992).
Ikan Lele Dumbo merupakan species baru yang diperkenalkan pada tahun 1984. Lele bertubuh bongsor ini adalah hasil persilangan antara induk betina lele asli Taiwan dan induk pejantan yang berasal dari Afrika. Lele ini masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1986, yang di impor dari Taiwan melalui Bandara Soekarno Hatta (Bactiar, 2006).
Lele dumbo termasuk ikan air tawar yang menyukai genangan air yang tidak tenang. Di sungai-sungai, ikan ini lebih banyak dijumpai di tempat-tempat yang aliran airnya tidak terlalu deras. Kondisi yang ideal bagi hidup lele dumbo adalah air yang mempunyai pH 6,5-9 dan bersuhu 24–26 0C. Kandungan O2 yang terlalu tinggi akan menyebabkan timbulnya gelembung-gelembung dalam jaringan tubuhnya. Sebaliknya penurunan kandungan O2 secara tiba-tiba, dapat menyebabkan kematiannya (Najiyati, 1992).
2.2 Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) adalah jumlah ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan. Untuk mengetahuinya digunakan rumus sederhana yaitu jumlah ikan yang hidup dibagi dengan jumlah ikan tebar awal dikali dengan seratus persen (Bactiar, 2006).
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, maka diperlukan makanan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Makanan yang dimakan oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup dan selebihnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Peningkatan padat tebar ikan akan berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan, artinya bahwa peningkatan padat tebar ikan belum tentu menurunkan tingkat kelangsungan hidup. Walaupun terlihat kecenderungan bahwa makin meningkat pada tebar ikan maka tingkat kelangsungan hidup akan makin kecil (Bjajasawengka, 1985 dalam Rukmana, 2003). Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan rata-rata yang baik berkisar antara 73,5-86,0 %. Kelangsungan hidup ikan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kualitas air meliputi suhu, kadar amoniak dan nitrit, oksigen yang terlarut, dan tingkat keasaman (pH) perairan, serta rasio antara jumlah pakan dengan kepadatan (Gustav, 1998).
Faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan lele yang perlu diperhatikan adalah padat tebar, pemberian pakan, penyakit, dan kualitas air. Meskipun ikan lele bisa bertahan pada kolam yang sempit dengan padat tebar yang tinggi tapi dengan batas tertentu. Begitu juga pakan yang diberikan kualitasnya harus memenuhi kebutuhan nutrisi ikan dan kuantitasnya disesuaikan dengan jumlah ikan yang ditebar. Penyakit yang menyerang biasanya berkaitan dengan kualitas air (Yuniarti, 2006), sehingga kualitas air yang baik akan mengurangi resiko ikan terserang penyakit dan ikan dapat bertahan hidup.
Dalam budi daya, kelangsungan hidup ikan sangat erat kaitannya dengan tujuan akuakultur itu sendiri yaitu mendapatkan profit sebesar-besarnya. Bila kelangsungan hidup ikan semakin tinggi maka akan berbanding lurus dengan keuntungan yang didapat (Bactiar, 2006).
2.3 Pertumbuhan
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ikan dalam berat, ukuran, maupun volume seiring dengan berubahnya waktu. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Mudjiman, 1998). Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan ikan itu sendiri seperti umur, dan sifat genetik ikan yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup ikan yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas (Huet, 1971).
Ketersediaan pakan dan oksigen sangat penting bagi ikan untuk keberlangsungan pertumbuhannya. Bahan buangan metabolik akan juga mengganggu pertumbuhan ikan, konsentrasi dan pengaruh dari faktor-faktor diatas terhadap ikan dapat dipengaruhi oleh tingkat kepadatan ikan. Pada kondisi kepadatan ikan yang tinggi, ketersediaan pakan dan oksigen bagi ikan akan berkurang, sedangkan bahan buangan metabolik ikan tinggi. Jika faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan maka peningkatan kepadatan akan mungkin dilakukan tanpa menurunkan laju pertumbuhan ikan (Hepher, 1978).
Umumnya ikan lele dapat tumbuh dengan baik dan sempurna pada daerah tropis, untuk di daerah tinggi bisa hidup, namun proses pertumbuhan lebih lambat, karena mempunyai suhu dan kedinginan di luar persyaratan. Batas maksimal syarat pertumbuhan ikan lele di daerah dataran tinggi adalah 600 meter (Bactiar, 2006).
Dalam budi daya pertumbuhan sangatlah mentukan bagi tujuan akuakultur yaitu dalam hal pencapaian profit. Dapat diasumsikan bahwa dengan pertumbuhan yang relatif cepat maka dalam siklus uang akan semakin cepat dan profit yang didapat akan sebanding pula (Bactiar, 2006)
2.4 Konversi Pakan
Konversi pakan dan efisiensi pakan merupakan indikator untuk menentukan efektifitas pakan. Konversi pakan dapat diartikan sebagai kemampuan spesies akuakultur mengubah pakan menjadi daging sedangkan efisiensi pakan adalah bobot basah daging ikan yang diperoleh per satuan berat kering pakan yang diberikan (Watanabe, 1988). Nilai konversi pakan menunjukkan bahwa sejauh mana makanan efisien dimanfaatkan oleh ikan peliharaan. Oksigen secara tidak langsung mempengaruhi besar kecilnya konversi pakan (Soetomo, 1987).
Pakan merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan budi daya, karena pakan diperlukan ikan untuk pemeliharaan kondisi tubuh, aktivitas, pertumbuhan dan reproduksi. Pakan yang diberikan pada spesies kultur ada dua macam yaitu pakan alami dan pakan buatan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemberian pakan adalah frekuensi pemberian pakan dan konversi pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan daging atau berat ikan. Pakan alami ikan lele berupa jasad hewani yaitu crustacea kecil, larva serangga (kutu air, jentik nyamuk), cacing dan molusca (Susanto, 1988). Semua itu menunjukan bahwa ikan lele bersifat omnivor cenderung karnivor (Pillay, 1990).

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat
Pembesaran ikan lele dimulai pada tanggal 8 Oktober 2009 sampai dengan 3 Desember 2009. Pada hari kamis dimulai pukul 15.30 WIB sampai dengan 17.30 WIB. Tempat pembesaran lele adalah di kolam pembesaran Departemen Budi daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pembesaran lele yaitu kolam pembesaran ukuran 20 m x 10 m x 1.5 m, ember, jala, penggaris, timbangan, termometer stik, dan kertas pH. Bahan yang digunakan pada pembesaran lele yaitu benih lele, air, pupuk kandang kapur, dan pakan berupa pelet.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Persiapan Wadah
Pada pembesaran lele, wadah atau kolam sebaiknya dipersiapkan terlebih dahulu. Kolam dipersiapkan 1 minggu sebelum benih ditebar ke kolam. Persiapan kolam meliputi pengeringan, pembersihan dari kotoran, perbaikan kolam, pemupukan dan pengisian air.
3.3.2 Pemupukan
Pemupukan dilakukan dengan cara membenamkan 4 buah karung pupuk kotoran ayam ke dalam kolam atau dengan dosis 200 g/m2. Karung ditenggelamkan pada masing-masing sudut kolam. Pengikat pada ujung karung jangan dilepas karena akan mengakibatkan kualitas air memburuk pada kolam. Setelah melakukan pemupukan, kolam dibiarkan selama 7 hari supaya pakan alami tumbuh.
3.3.3 Penebaran
Setelah diseleksi, benih yang sudah diperoleh sebaiknya ditebar langsung ke kolam, dengan mempertimbangkan padat tebar. Sebelum ditebar ke kolam benih diperlakukan terlebih dahulu yaitu dengan diaklimatisasi, sehingga benih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Penebaran sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari ketika suhu sedang rendah.
3.3.4 Pemeliharaan
Benih lele yang sudah ditebar harus diperlakukan khusus (pemeliharaan). Pemeliharaan ikan lele dengan pemberian pakan dan kualitas air dikontrol. Pakan yang diberikan harus diperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Pemberian dan pengkontrolan kualitas air dilakukan 3 kali dalam 1 hari yaitu pada pagi hari sekitar jam 06.00 WIB, siang hari sekitar jam 12.30 WIB, dan ketika menjelang magrib, sekitar jam 17.30 WIB.
Pakan yang diberikan setiap minggunya berbeda-beda tergantung hasil sampling setiap minggunya. Pada minggu pertama pakan yang diberikan dengan feeding rate sebesar 8% dari total biomasa, dan setiap minggunya feeding rate diturunkan sebesar 1%. Selain pemeberian pakan dan pengontrolan kuailtas air ada juga hal yang harus dilakukan setiap minggunya yaitu sampling dengan tujuan untuk menentukan jumlah pakan yang diberikan setiap harinya, ukuran tubuh, dan kesehatan ikan.
3.3.5 Sampling
Sampling dilakukan 1 minggu sekali, dengan 5 kali ulangan. caranya adalah mengambil 30 sample ikan dari 5 titik pada kolam. Ikan diambil dengan jaring, setelah itu diukur panjang dan berat tubuh rata-rata dengan menggunakan timbangan dan perhatikan kesehatan ikan.
3.3.6 Pemanenan
Pemanenen dilakukan setelah ikan berukuran 10 atau 8 dalam 1 kg. Sebelum pemanenan dilakukan, air dalam kolam disurutkan dengan membuka outlet. Setelah air sekitar mata kaki maka pemanenan dapat dilakukan dengan jaring.
3.4 Analisa Data
3.4.1 Tingkat Kelagsungan Hidup
Tingkat Kelangsungan hidup atau SR ikan adalah persentase jumlah ikan yang hidup pada saat waktu tertentu dibandingkan dengan jumlah ikan pada awal pemeliharaan.
Rumus untuk mencari SR :
SR = Nt/No x 100 %

Keterangan :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah populasi ikan ke-t (ekor)
No = Jumlah populasi ikan awal (ekor)
3.4.2 Konversi Pakan
Konversi pakan (FCR) merupakan indikator untuk menentukan efektifitas pakan. Konversi pakan dapat diartikan sebagai kemampuan spesies akuakultur mengubah pakan menjadi daging.
Rumus mencari FCR :
FCR =Pa/( Wt-Wo+Wm)

Keterangan :
FCR = konversi pakan
\ Pa = Jumlah pakan yang diberikan (kg)
Wt = Biomasa akhir (kg)
Wo = Biomasa awal (kg)
Wm = Biomasa yang mati (kg)
3.4.3 Laju Pertumbuhan Harian
Laju pertumbuhan harian (SGR) adalah persentase pertambahan berat ikan setiap harinya selama pemeliharaan, laju pertumbuhan harian ditunjukan dalam satuan persentase (%).

Rumus untuk mencari SGR :

SGR= √(t&wi/w0 ) – 1 x 100%
Keterangan :
SGR = Laju pertumbuhan harian (%)
Wt = Bobot rata-rata selama pemeliharaan (gram)
Wo = Bobot rata-rata awal pemeliharaan (gram)
t = Waktu pemeliharaan (hari)

3.4.4 Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak (GR) adalah pertambahan berat ikan setiap harinya selama pemeliharaan. Pertambahan mutlak ditunjukan dalam satuan gram/hari
Rumus mencari GR:

GR =(Wt-Wo)/t
Keterangan :
GR = Pertumbuhan Mutlak (gram/hari)
Wt = bobot rata-rata ikan pada waktu ke-t (gram)
Wo = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)
t = waktu pemeliharaan (hari)

IV. Hasil Dan Pembahasan

4.1 Hasil
4.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup
Tabel 1 Kelangsungan Hidup

Grafik 4 Perbandingan Tingkat Kelangsungan Hidup setiap Departemen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dari grafik 1 dapat dilihat bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lele oleh departemen BDP paling tinggi diantara Departemen lainnya. Sedangkan yang paling rendah diperoleh Departemen THP. Departemen BDP, SR yang dihasilakan sebesar 88.7%, pada urutan ke-2 yaitu Departemen PSP dengan SR yang dihasilkan sebesar 88.6 %, pada urutan ke-3 Departemen ITK dengan SR yang dihasilkan sebesar 85.9%, pada urutan ke-4 Departemen MSP, SR yang dihasilkan sebesar 82.3%, dan yang terakhir yaitu THP dengan SR yang dihasilkan sebesar 79.6%.

4.1.2 Laju Perumbuhan Spesifik
Tabel 2 Laju Pertumbuhan Spesifik

Grafik 2 Laju Pertumbuhan Harian setiap Departemen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dari grafik laju pertumbuhan harian (SGR) dapat dilihat bahwa pertumbuahan rata-rata setiap Departemen menunjukan grafik yang selalu menurun. Untuk sampling awal tidak dilakukan karena awal penebaran. Departemen BDP melakukan 6 kali sampling dengan bobot rata-rata harian yang diperoleh pada sampling terakhir yaitu sebesar 8.18%. Departemen MSP melakukan 8 kali sampling dengan bobot rata-rata harian pada sampling terakhir yaitu sebesar 5.53%. Departemen THP melakukan 9 kali sampling dan diperoleh bobot rata-rata harian pada sampling terakhir sebesar 2.08 %. Departemen PSP melakukan 5 kali sampling dan memperoleh bobot rata-rata harian pada sampling terakhir sebesar 7.78%. Sedangkan untuk Departemen ITK melakukan 9 kali sampling dan memperoleh bobot rata-rata harian pada sampling terakhir yaitu sebesar 5.87%.
4.1.3 Pertumbuhan Mutlak
Tabel 3 Pertumbuhan Mutlak

4.1.4 Konversi Pakan
Tabel 4 Tabel Konversi Pakan

Grafik 4 Perbandingan Konversi Pakan setiap Departemen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dari Grafik 4 menunjukan perbedaaan konversi pakan (FCR) setiap Departemen yang berada di FPIK selama pembesaran berlangsung. Departemen BDP dan MSP selama pemeliharaan mendapatkan hasil akumulasi FCR sebesar 1.05. Departemen THP mendapatkan hasil akumulasi FCR sebesar 2.27, untuk Departemen PSP mendapatkan hasil akumulasi FCR sebesar 1.65, sedangkan untuk Departemen ITK mendapatkan hasil akumulasi FCR sebesar 1.71.
4.1.5 Hasil Panen
Tabel 5 Hasil Panen
Departemen Panen dalam biomas (kg)
daging big size sortir total
BDP 265 117 9.1 391.1
MSP 401 61 59 521
THP 318.5 84.6 18 421.1
PSP 315 85 25 425
ITK 333 25 98 456
Pada tabel 5 hasil pemanenan diperoleh perbedaan antar Departemen yaitu Departemen BDP daging sebesar 265 kg, big size sebesar 117 kg, sortir sebesar 9.1 kg sehingga total boimas yaitu 391.1 kg. Departemen MSP daging sebesar 401 kg, big size sebesar 61 kg, sortir sebesar 59 kg sehingga total boimas yaitu 521 kg. Departemen THP daging sebesar 318.5 kg, big size sebesar 84.6 kg, sortir sebesar 18 kg sehingga total boimas yaitu 421.1 kg. Departemen PSP daging sebesar 315 kg, big size sebesar 85 kg, sortir sebesar 9.1 kg sehingga total boimas yaitu 391.1 kg. dan ITK daging sebesar 333 kg, big size sebesar 25 kg, sortir sebesar 98 kg sehingga total boimas yaitu 456 kg.
4.1.6 Analisa Usaha Pembesaran Lele
Tabel 6 Analisa Usaha Pembesaran Lele

Dari tabel 5 analisa usaha pembesaran lele dapat dilihat bahwa perbedaan keuntungan dari usaha pembesaran lele. Departemen BDP memperoleh pemasukan dari penjualan ikan lele sebsar Rp. 3.667.900,- dan pengeluran sebesar Rp. 3.537.133,- sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 130.767,-. Departemen MSP menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 5.029.000,- dan pengeluran sebesar Rp. 4.984.000,- sehingga memperoleh keuntungan sebesar Rp. 45.000,-. Departemen THP menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 4.023.800 dan pengeluran sebesar Rp. 6.253.733,-, sehingga kerugian yang diperoleh sebesar Rp. 2.229.933,-. Departemen PSP menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 3.975.000,- dan pengeluran sebesar Rp. 5.903.307,- sehingga kerugian yang diperoleh sebesar Rp. 1.927.307,-. Departemen Departemen ITK menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 4.412.000,- dan pengeluran sebesar Rp. 6.427.342,- sehingga kerugian yang diperoleh sebesar Rp. 2.015.342,-.
4.1.7 Data Kualitas Air
Tabel 7 Data Kualitas Air
Kelas Lokasi Parameter
DO pH Kesadahan (CaCO3) Alkalinitas Amoniak (mg/l) Nitrit (mg/l)
BPD in 7.2 6.64 37.79 160 0.12 0.043
out 7.1 6.63 47.25 176 0.039
MSP in 6.9 6.85 42.52 172 0.05 0.034
out 7 6.93 47.25 200 0.08 0.03
THP in 6.6 6.84 47.25 60 0.29 0.039
out 6.6 6.92 70.87 172 0.32 0.066
PSP in 6.6 6.61 94.49 76 0.15 0.044
out 6.6 6.99 89.76 104 0.4 0.059
ITK in 6.6 7.76 94.49 72 0.29 0.05
out 6.6 6.81 94.49 80 0.28 0.055
Tabel 6 data kualitas air menunjukan perbedaan kualitas air antar Departemen. Kulitas air untuk Departemen BDP untuk in let yaitu DO sebesar 7.2 ppm, pH sebesar 6.64, kesadahan sebesar 37.79, alkalinit sebesar 160, amoniak sebesar 0.12 mg/L, dan nitrit sebesar 0.043 mg/L. sedangkan untuk out let yaitu DO sebesar 7.1 ppm, pH sebesar 6.63, kesadahan sebesar 47.25, alkalinit sebesar 176, dan nitrit sebesar 0.039 mg/L. Departemen MSP untuk in let yaitu DO sebesar 6.9 ppm, pH sebesar 6.85, kesadahan sebesar 42.52, alkalinit sebesar 172, amoniak sebesar 0.05 mg/L, dan nitrit sebesar 0.034 mg/L. sedangkan untuk out let yaitu DO sebesar 7 ppm, pH sebesar 6.93, kesadahan sebesar 47.25, alkalinit sebesar 200, amoniak sebesar 0.08 mg/L dan nitrit sebesar 0.03 mg/L. Departemen THP untuk in let yaitu DO sebesar 6.6 ppm, pH sebesar 6.92, kesadahan sebesar 47.25, alkalinit sebesar 60, amoniak sebesar 0.29 mg/L, dan nitrit sebesar 0.039 mg/L. sedangkan untuk out let yaitu DO sebesar 6.6 ppm, pH sebesar 6.92, kesadahan sebesar 70.87, alkalinit sebesar 172, amoniak sebesar 0.32 mg/L dan nitrit sebesar 0.066 mg/L. Departemen PSP untuk in let yaitu DO sebesar 6.6 ppm, pH sebesar 6.61, kesadahan sebesar 94.49, alkalinit sebesar 76, amoniak sebesar 0.15 mg/L, dan nitrit sebesar 0.044 mg/L. sedangkan untuk out let yaitu DO sebesar 6.6 ppm, pH sebesar 6.99, kesadahan sebesar 89.76, alkalinit sebesar 104, amoniak sebesar 0.4 mg/L dan nitrit sebesar 0.059 mg/L. Departemen ITK untuk in let yaitu DO sebesar 6.6 ppm, pH sebesar 7.76, kesadahan sebesar 94.49, alkalinit sebesar 72, amoniak sebesar 0.29 mg/L, dan nitrit sebesar 0.05 mg/L. sedangkan untuk out let yaitu DO sebesar 6.6 ppm, pH sebesar 6.81, kesadahan sebesar 94.49, alkalinit sebesar 80, amoniak sebesar 0.28 mg/L dan nitrit sebesar 0.055 mg/L.
4.2 Pembahasan
Survival Rate atau kelangsungan hidup ikan mereupakan salah satu perameter yang menunjukan keberhasilan dalam budi daya dalam pembesaran. Pada percobaan pembesaran lele yang dihasilkan oleh Departemen BDP untuk kelangsungan hidup ikan selama pemeliharaan yaitu sebesar 88.7% dan dengan kematian (mortalitas) sebesar 19.3%. pada grafik 1 menunjukan perbedaan kelangsungan hidup ikan selama pemeluhaan antar Departemen. untuk Departemen BDP menghasilkan SR sebesar 88.7%, Departemen MSP sebesar 82.3%, Departemen THP sebesar 79.6%, Departemen PSP sebesar 88.6%, dan Departemen ITK sebesar 85.9%. Kematian yang cukup tinggi ini yaitu sekitar 20% dikarenakan beberapa Faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan lele yaitu padat tebar, pemberian pakan, penyakit, dan kualitas air. Meskipun ikan lele bisa bertahan pada kolam yang sempit dengan padat tebar yang tinggi tapi dengan batas tertentu. Begitu juga pakan yang diberikan kualitasnya harus memenuhi kebutuhan nutrisi ikan dan kuantitasnya disesuaikan dengan jumlah ikan yang ditebar. Penyakit yang menyerang biasanya berkaitan dengan kualitas air, sehingga kualitas air yang baik akan mengurangi resiko ikan terserang penyakit dan ikan dapat bertahan hidup (Yuniarti, 2006).
Mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, maka diperlukan makanan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Makanan yang dimakan oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup dan selebihnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Peningkatan padat tebar ikan akan berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan, artinya bahwa peningkatan padat tebar ikan belum tentu menurunkan tingkat kelangsungan hidup. Walaupun terlihat kecenderungan bahwa makin meningkat pada tebar ikan maka tingkat kelangsungan hidup akan makin kecil (Bjajasawengka, 1985 dalam Rukmana, 2003). Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan rata-rata yang baik berkisar antara 73,5-86,0 %. Kelangsungan hidup ikan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kualitas air meliputi suhu, kadar amoniak dan nitrit, oksigen yang terlarut, dan tingkat keasaman (pH) perairan, serta rasio antara jumlah pakan dengan kepadatan (Gustav, 1998).
Menurut Mudjiman (1998) Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ikan dalam berat, ukuran, maupun volume seiring dengan berubahnya waktu. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Laju pertumbuhan harian (SGR) adalah persentase pertambahan berat ikan setiap harinya selama pemeliharaan, laju pertumbuhan harian ditunjukan dalam satuan persentase (%). Selama pemeliharaan dalam pembesaran lele laju pertumbuhan harian pada setiap Departemen berbeda-beda. Departemen BDP pada sampling ke-2 didapat laju pertumbuhan harian sebesar 8.07%, pada sampling terakhir yaitu sampling ke-6 laju pertumbuhan harian yang didapat sebesar 8.18%. adapun faktor-faktor yang mempengaruhu laju pertumbuhan harian iken yaitu faktor internal merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan ikan itu sendiri seperti umur, dan sifat genetik ikan yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup ikan yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas (Huet, 1971).
Ketersediaan pakan dan oksigen sangat penting bagi ikan untuk keberlangsungan pertumbuhannya. Bahan buangan metabolik akan juga mengganggu pertumbuhan ikan, konsentrasi dan pengaruh dari faktor-faktor diatas terhadap ikan dapat dipengaruhi oleh tingkat kepadatan ikan. Pada kondisi kepadatan ikan yang tinggi, ketersediaan pakan dan oksigen bagi ikan akan berkurang, sedangkan bahan buangan metabolik ikan tinggi. Jika faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan maka peningkatan kepadatan akan mungkin dilakukan tanpa menurunkan laju pertumbuhan ikan (Hepher, 1978).
Pertumbuhan mutlak (GR) adalah pertambahan berat ikan setiap harinya selama pemeliharaan. Pertumbuhan mutlak untuk Departemen BDP sampai akhir pemeliharaan yaitu pada sampling ke-2 sebesar 0.57 g/hari dan sampling ke-6 sebesar 2.71 g/hari. Hasil pertumbuhan mutlak yang diperoleh Departemen BDP sanagtlah baik dengan pertumbuhan mutlak yang terus meningkat dengan seiringnya waktu. Hal tersebut dapat terjadi karena ada beberapa fakor yang menyebabkannya diantaranya yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Huet, 1971).
Feeding Conversion Rate (FCR) atau Konversi pakan diartikan sebagai kemampuan spesies akuakultur mengubah pakan menjadi daging sedangkan efisiensi pakan adalah bobot basah daging ikan yang diperoleh per satuan berat kering pakan yang diberikan (Watanabe, 1988). Pada pembesaran lele konversi pakan yang dihasilkan oleh Departemen BDP yaitu 1.05 atau dapat diartikan dalam 1.05 kg pakan menghasilkan 1 kg daging ikan. Sehingga semakin kecil FCR maka pakan tersebut baik untuk dikonsumsi oleh ikan dan akan memperkecil pengeluaran keuangan karena pakan yang digunakan akan semakin kecil. Sedangkan untuk Departemen MSP yaitu sebesar 1.05, Departemen THP sebesar 2.27, Departemen PSP sebesar 1.65 dan Departemen ITK sebesar 1.71. Perbedaan FCR ini terjadi karena faktor eksternal dan internal ikan, Oksigen secara tidak langsung mempengaruhi besar kecilnya konversi pakan (Huisman, 1976). Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemberian pakan adalah frekuensi pemberian pakan dan konversi pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan daging atau berat ikan. Pakan alami ikan lele berupa jasad hewani yaitu crustacea kecil, larva serangga (kutu air, jentik nyamuk), cacing dan molusca (Susanto, 1988). Semua itu menunjukan bahwa ikan lele bersifat omnivor cenderung karnivor (Pillay, 1990). Adapun faktor lainnya yaitu disebabkan oleh human error yang dapat menimbulkan pakan yang keluar berlebihan sehingga FCR akan membesar.
Hasil panen yang didapatkan oleh setiap Departemen berbeda-beda. Untuk Departemen BDP daging sebesar 265 kg, big size sebesar 117 kg, sortir sebesar 9.1 kg sehingga total boimas yaitu 391.1 kg. Departemen MSP daging sebesar 401 kg, big size sebesar 61 kg, sortir sebesar 59 kg sehingga total boimas yaitu 521 kg. Departemen THP daging sebesar 318.5 kg, big size sebesar 84.6 kg, sortir sebesar 18 kg sehingga total boimas yaitu 421.1 kg. Departemen PSP daging sebesar 315 kg, big size sebesar 85 kg, sortir sebesar 9.1 kg sehingga total boimas yaitu 391.1 kg. dan ITK daging sebesar 333 kg, big size sebesar 25 kg, sortir sebesar 98 kg sehingga total boimas yaitu 456 kg. Adapun faktor yang dapat terjadinya perbedaan hasil panen yaitu mortalitas, SR,dan lama pemeliharaan (Bactiar, 2006).
Budi daya merupakan salah satu peluang usaha yang berorientasi pada profit sehingga perlu adanya sebuah analisa usaha yang dapat memperlihatkan seberapa besar keuntungan yang didapat dalam 1 kali panen. Untuk hasil usaha pembesaran lele diperoleh keuntungan atau kerugian oleh setiap Departemen. Departemen BDP memperoleh pemasukan dari penjualan ikan lele sebsar Rp. 3.667.900,- dan pengeluran sebesar Rp. 3.537.133,- sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 130.767,-. Departemen MSP menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 5.029.000,- dan pengeluran sebesar Rp. 4.984.000,- sehingga memperoleh keuntungan sebesar Rp. 45.000,-. Departemen THP menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 4.023.800 dan pengeluran sebesar Rp. 6.253.733,-, sehingga kerugian yang diperoleh sebesar Rp. 2.229.933,-. Departemen PSP menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 3.975.000,- dan pengeluran sebesar Rp. 5.903.307,- sehingga kerugian yang diperoleh sebesar Rp. 1.927.307,-. Departemen Departemen ITK menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 4.412.000,- dan pengeluran sebesar Rp. 6.427.342,- sehingga kerugian yang diperoleh sebesar Rp. 2.015.342,-. Pada analisa usaha pembesaran lele keuntugan yang diperoleh sangatlah sedikit bahkan mengalami kerugian yang sangat besar. Keuntungan atau kerugian yang dialami ini karena pemberian pakan yang berlebihan (baca:jebol), kematian yang tinggi, ukuran yang tidak diinginkan oleh pasar, dan waktu panen yang tidak tepat (Bactiar, 2006).
Waktu pemanen haruslah tepat dengan bobot panen yang diinginkan oleh pasar yaitu pasar menginginkan dalam 1 kg berisi 8-10 ekor ikan atau 100 g/ekor-120 g/ekor. Untuk pemeliharaan ukuran panjang 10-12 cm/ ekor waktu panen yang ideal yaitu dalam waktu 2 bulan dari awal tebar, sehingga tidak menimbulkan over size atau under size yang akan berakibat terjadinya harga yang kurang dari semestinya (Bactiar, 2006). Waktu panen bila memperhatikan grow rate yang pada umumnya yaitu selama 2 bulan, dan bila ada faktor lain diluar itu untuk mentukan waktu panen dapat dilihat dari hasil sampling, sehingg panen dipercepat atau diperlambat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pasar. Adapun faktor lainnya yaitu kesehatan ikan yang dapat menetukan ikan agar mau memakan pakan yang diberikan (Bactiar, 2006).
Pada hasil panen yang diperoleh BDP sangat kecil dibandingkan dengan yang diperoleh Departemen lainnya yaitu total boimas 391.1 kg, hal ini karena perbedaam jumlah tebar awal untuk setiap Departemen dan waktu panen. Waktu panen yang dilakukan oleh Departemen BDP lebih cepat tidak sesuai dengan waktu panen semestinya hal ini karena disebabkan oleh faktor bobot yang sudah diinginkan oleh pasar sehingga panen dipercepat dari yang seharusnya. Selain ukuran pasar, pertimbangan lainnya untuk melakukan kegiatan panen antara lain yaitu harga pasar yang tinggi, pembudi daya membutuhkan uang, ikan kultur tidak mau tumbuh lagi, ikan terserang penyakit dan menuju pada kematian masal, menghadapi musim sulit air, budaya (Hari Raya Lebaran, Lebaran Haji, Natal, dan Tahun Baru) (Effendi, 2004). Keuntungan yang didapat oleh Departemen BDP paling besar diantara yang lainnya hal ini karena FCR yang dimiliki sangat bagus yaitu 1.05, sehingga dapat mengurangi pengeluaran yang ada dan mendapatkan keutungan yang lebih besar.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pada praktikum pembesaran lele mahasiswa sudah dapat melakukan persiapan kolam untuk kegiatan budi daya ikan di kolam air tenang, penebaran benih sesuai dengan prinsip penebaran, pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan ikan, pemanenan dan transprotrasi ikan hidup.
Departemen BDP mendapatkan hasil untuk kelangsungan hidup sebesar 88.7%, laju pertumbuhan harian pada semplimh ke-6 sebesar 8.18% , pertumbuhan mutlak pada sampling ke-6 sebesar 2.71 g/hari, konversi pakan sebsar 1.05, hasil panen sebesar 391.1 kg, keuntungan usaha sebesar Rp. 130.767,-, dan kualitas air yang baik untuk pertumbuhan ikan.
5.2 Saran
Praktikum selanjutnya agar lebih baik lagi harus adanya pengawasan terhadap pakan, dan pengecekan kualitas kolam sebelum melakukan praktikum.

Daftar Pustaka

Bactiar, yusuf. 2006. Panduan Lengkap Budi daya Lele Dumbo. Agromedia. Jakarta.
Effenfi, Irzal. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta
Gustav, F. 1988. Pengaruh Tingkat Kepadatan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Kakap putih (Lates calcalifer, Bloch) dalam Sistem Resirkulasi. Skripsi, Jurusan Budi daya Perairan, Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
Hepher, B. 1978. Ecological Aspects of Warm-Water Fishpond Management. Hal 447-468. Dalam Geeking. S. D. (Ed). Ecology of Freshwater Fish Production. New York.
Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture: Breeding and Cultivation of Fish. Two edition. Fishing News Books Ltd. London.
Ismanto, Novie Fajar. 2009. Strategi Pengembangan Budi daya Lele di Daerah Parung dan Bogor. (http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=mbipb-12312421421421412-noviefajar-872). Diakses 14 Desember 2009.
Khairuman. 2005. Budi daya Lele Dumbo secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Mudjiman. A. 1998. Makanan Ikan. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Najiyati, S. 1992. Memelihara Lele Dumbo di Kolam Taman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pillay, T. V. R. 1990. Aquaculture, Principles and Practices. Fishing News Books, Oxford, London, Edinburgh, Cambridge, Victoria.
Puspowardoyo, H. dan Djarijah, A. 2003. Pembenihan dan Pembesaran Lele Dumbo Hemat Air. Kanisius Yogyakarta.
Rukmana, Rahmat. 2003. Lele Dumbo, Budi daya dan Pasca Panan. Agromedia. Jakarta.
Rustidja, 1997. Kebutuhan Makan Benih Ikan Lele Clarias bathracus. Tesis Program Pasca Sarjana. Fakultas Perikanan IPB. Bogor
Soetomo, M. H. A. 1987. Teknik Budi daya Ikan Lele Dumbo. Sinar Baru. Bandung.
Susanto, H. 1988. Budi daya Ikan Lele. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Tantra. 2008. Cara Budi daya Lele Dumbo dalam Lahan Sempit. (http//:www.ristantra.wordpress.com). Diakses 28 Desember 2009.
Watanabe. T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. JICA Text Book. The General Aquculture Course. Department of Aquatic Bioscince, Tokyo University of Fisheries. Tokyo.
Yuniarti. 2006. Pengaruh Kepadatan Benih Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Terhadap Produksi pada Sistem Budi daya dengan Pnegndalian Nitrogen melalui Penambahan Tepung Terigu. Skripsi. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.